Dunia tahu jika lima-puluh-persen produsen bir (brewery) yang tersebar di Uni Eropa berasal dari Bavaria, oleh karenanya, bir telah menjadi minuman nasional Bavaria. Jika Anda penggemar Bayern München FC, pasti Anda pernah melihat foto Thomas Müller dan Istri mengenakan trachten dengan gelas bir besar tergenggam di tangan mereka pada perhelatan Oktoberfest. Ya, jika menyebut München atau Bavaria, utamanya saya akan mengingat festival tahunan tersebut, yang telah menciptakan obsesi tersendiri bagi saya untuk mengunjungi kota tersebut. Walaupun saya bukan peminum dan pengonsumsi daging babi, saya ingin merasakan atmosfer "aula minum" yang ada di München. Kali ini, saya berkesempatan menyambangi hofbräuhaus, yaitu aula minum tertua dan terbesar di Bavaria yang mempertahankan resep turun-temurun Duke of Bavaria, Wilheim V. Dengan nama yang sama pula, hofbräu merupakan salah satu produsen bir terbesar di München, bahkan Jerman. Suasana Hofbräuhaus am PlatzlAnda tidak suka dengan keramaian? Jika jawaban anda adalah "ya", saya rasa anda tidak perlu mengunjungi tempat ini karena sangatlah ramai dan bising! Saat memasuki hofbräuhaus, anda akan melewati toko cenderamata dari hofrbräuhaus, lalu pintu kokoh dari kayu hitam akan menyambut kedatangan anda sebagai tanda selamat datang di aula minum ini. Riuh dan tidak dapat fokus, itulah kata-kata yang bisa menggambarkan suasana dan perasaan saya. Musik tradisional Bavaria dimainkan di panggung aula (Musikanten-Tisch), suaranya begitu menggelegar ke seluruh penjuru aula, namun membuat aula begitu hidup dan menyenangkan. Orang-orang tidak hanya memenuhi meja makan, melainkan juga di sekitar pemain musik, sekedar untuk saling berbaur. Jika anda berkunjung ke mari, saya sarankan untuk tidak menggunakan sepatu yang memiliki sol rata karena lantai di aula ini amatlah licin. Oh ya, cara main di aula minum adalah "siapa cepat dialah yang dapat", jika anda melihat ada space kosong walaupun hanya sedikit, datangilah meja tersebut, dan tanya apakah ada orang lain yang menempati meja tersebut, jika jawabannya "tidak ada", tempatilah meja tersebut bersama kawan-kawan anda (datang sendirian ke tempat ini bukanlah ide yang bagus tentunya). Prinsip dasar yang digunakan adalah join-bareng, layaknya mengunjungi warung kaki lima yang ramai, anda terpaksa harus duduk satu meja dengan orang lain walaupun tidak saling kenal. Beruntung, saya ditemani sahabat dekat saya, Sorta, yang mengajak sahabatnya yang tinggal di München, William, mereka mengajarkan cara bertabiat di aula minum ini, serta menjadi penerjemah. Kami mengelilingi hampir seluruh ruangan di hofbräuhaus selama 10-15 menit hanya untuk mencari meja kosong, aula ini begitu besar! Bahkan aula ini terbagi menjadi lima area, yaitu schwemme, bräustüberl, festival hall, exhibition, dan beer garden. Pada akhirnya kami mendapatkan tempat di area schwemme setelah melihat ada rombongan yang ingin bergegas. Setelah menempati posisi masing-masing, hal yang perlu anda lakukan adalah membuka lembaran menu yang sudah ditempatkan di masing-masing meja, menu tersedia dalam bahasa Inggris dan tentunya bahasa Jerman. Jika sudah memutuskan pilihan, panggil pramusaji yang mengenakan trachten khas hofbräuhaus (hampir semua orang baik pengunjung mengenakan trachten), huntungnya meja kami cukup dekat dengan komputer restoran sehingga memudahkan kami untuk menyoroti mereka. Kali ini, tugas saya serahkan kepada Sorta dan William untuk berbahasa Jerman, namun, perlu diketahui, banyak pramusaji disini berasal dari negara lain, salah satunya pramusaji kami yang berasal dari Italia sehingga dirinya fasih dalam bahasa Inggris, Jerman, dan tentunya Italia. Perkenalan Pertama dengan Citarasa BavariaSembari menunggu pesanan kami, hal yang dapat dilakukan selain mengobrol adalah menikmati atmosfer yang ada disana. Beberapa kali lelaki paruh baya dengan trachten melewati meja kami, membawa bak yang terbuat dari anyaman rotan, berisikan berbagai jenis pretzel, tertera pula daftar harga pretzel sesuai dengan ukuran yang ada. Untuk ukuran pretzel besar dijual seharga 3,70 euro, sedangkan pretzel kecil kalau tidak salah dijual seharga 1,80 euro. Walaupun saya bukanlah penggemar roti keras khas Eropa, saya tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menikmati pretzel yang amat terkenal dari Jerman, dan benar saja, saya tetap tidak suka dengan pretzel he-he. Teksturnya amatlah keras dan asin, namun bagian luarnya cukup garing. Weißwürste atau sosis putih merupakan salah satu hidangan klasik khas Bavaria yang tidak dapat dilewatkan jika berada di München. Konon, sosis ini hanya boleh dimakan saat brunch (selang waktu antara sarapan dan makan siang), dan tidak diperkenankan dikonsumsi setelah siang hari, namun apadaya saya tetap mengonsumsi saat senja mulai tenggelam, toh menu ini masih terdaftar di menu yang ada he-he. Weißwürste disajikan dalam mangkuk pot berisikan sepasang sosis yang direndam dalam air-garam hangat. Sosis yang berbahan dasar daging sapi muda ini selalu didampingi moster pedas-manis bertekstur kasar (Bayerisch süßer hausmachersenf). Berbeda dengan kebanyakan sosis lainnya, sesuai namanya, weisswürste harus berwarna putih, hal ini pula yang tersirat dari penggunaan daging sapi muda (veal) yang memang memiliki warna pucat. Sosis yang masih saling terkait ini begitu padat, berat, dan licin sehingga saya kesulitan saat berusaha memutuskan uliran diantaranya. Ternyata, cara mengonsumsi sosis ini juga ada aturannya, secara tradisional sosis tidak dikonsumsi menggunakan pisau-garpu, melainkan sosis dihisap melalui kulitnya, teknik ini pun memiliki istilah sendiri, yaitu 'auszulzeln'. Saya sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana teknik tersebut dapat dilakukan, memotongnya dengan pisau-garpu saja susahnya bukan main. Akhirnya, William dan Sorta membantu memotong sosis sesuai dengan ukuran yang "sepantasnya". Untuk citarasa, jujur saya lebih suka dengan sosis sapi muda milik Just Sosis Bandung he-he, mengingat weißwürst terlalu keras dan tawar, ditambah dengan rendaman air-garam (yang sebenarnya memiliki makna ilmiah) membuat sosis ini menjadi cukup asin bagi saya. Moster pedas-manis cukup memberi rasa segar dan menjadikan weißwürst bercitarasa lebih baik dibandingkan jika dikonsumsi tanpa bumbu apapun. Moster ini jika dideskripsikan lebih lanjut, nyatanya tidak ada sensasi pedas, melainkan hanya rasa asam menggelitik khas moster, dan citarasa manis dari perpaduan apel dan madu. Jika ditanya apakah saya merekomendasikannya? Akan saya jawab tidak, namun tidak ada salahnya juga jika anda ingin mencobanya. Note: Setelah saya telusuri, weißwürste terkadang dicampur bacon babi. Bahkan, saat menulis artikel ini, saya baru ingat jika lapisan pembungkus sosis yang biasa digunakan di luar negeri berasal dari usus, dan ya, kebanyakan usus yang digunakan adalah usus babi, hu-hu apadaya saya baru menyadarinya.. Dari Semmelknödel hingga Bir-tanpa-alkoholUntuk main course, saya memesan Münchner sauerbraten vom Almochsen (Munich sauerbraten of Alpin ox), yaitu daging sapi Alpine yang disajikan dengan gravy asam, semmelknödel (bread dumpling), serta selai cranberi. Alasan saya memesan menu ini karena saya ingin mencoba panganan khas Bavaria, semmelknödel, yaitu kue bola (knödel) yang berbahan dasar roti, Sebenarnya saya tidak harus memesan menu ini karena semmelknödel juga dapat dipesan secara terpisah sebagai 'side dishes'. Selain semmelknödel, terdapat pula kartoffelknödel (potato dumpling, kue bola berbahan dasar dari kentang), serta eierspätzle (semacam pasta dari telur) yang juga menjadi santapan sampingan khas Bavaria. Apakah enak? Munich sauerbraten merupakan menu terenak yang saya nikmati saat itu. Potongan persegi daging sapi Alpine yang empuk masih menampilkan jati diri serat yang dimilikinya, dipadukan dengan gravy kental asam-gurih serta selai cranberi asam-manis, membuat makanan ini memiliki kemiripan rasa dengan Swedish meatball. Hal yang paling saya sukai terletak pada semmelknödel dan selai cranberi. Semmelknödel memiliki konsistensi padat-berat seperti bola bekel sehingga saat memotongnya anda membutuhkan usaha lebih. Tekstur padat tercerminkan saat semmelknödel mulai dikunyah, teksturnya seperti kentang tumbuk yang diberi tepung ketan atau sagu, membal namun sangat enak untuk dikunyah, cita rasa gurih dari parsley, adonan tepung, dan susu memunculkan adanya saus bechamel padat pada indera perasa. Teman saya, duo Haryo, hingga berulang kali menghampiri piring saya dengan garpu masing-masing untuk meraih si semmelknödel dan mencocolkannya pada gravy dan saus cranberi. Teman saya, Haryo-P dan Ryo (duo Haryo), masing-masing memesan Wiener schnitzel dan 1/2 Bayerisches Brathendl (half bavarian roast chicken). Jika Anda menemukan schnitzel dengan embel-embel "Wiener", hampir dapat dipastikan bahan dasar yang digunakan adalah daging sapi muda, menu ini merupakan makanan khas dari Wina, Austria, yang tentunya amat-sangat mudah ditemukan jika menyambangi Austria. Dari semua schnitzel yang saya nikmati pada perjalanan Jerman-Austria ini, schnitzel milik Hofbräuhaus bukanlah yang terbaik, roast chicken-nya juga tidak istimewa bagi saya. Mengunjungi bräuhaus namun tidak mengonsumsi alkohol? Jelas itu menjadi larangan yang erat bagi saya. Namun, di hofbräuhaus mereka ternyata menyediakan bir non-alkohol (Hofbräu non-alcoholic wheat beer/Hofbräu Weisse alkoholfrei) sehingga saya memutuskan untuk memesannya. Sesuai dengan kata pengantar yang sudah saya buat di awal artikel, bir telah menjadi minuman nasional dari Bavaria, hingga Anda tidak akan menemukan bir yang disajikan dalam gelas kecil atau hanya sekedar untuk mencoba. Ukuran gelas terkecil untuk bir yang adapun bervolume 0,5 liter sedangkan ukuran lainnya (terbesar) adalah 1 liter, bahkan minuman seperi jus dan air mineral saja disajikan dalam gelas bir bervolume 0,4 liter. Untuk bir non-alkohol huntungnya hanya disajikan pada gelas 0,5 liter, satu gelaspun dipesan berdua dengan Sorta. Lucunya, ada turis Jepang yang sudah mempersiapkan botol minum kosong untuk menampung bir 1 liter yang masih tersisa, siapa tahu, cerita ini dapat menginspirasi anda ketika menyambangi aula minum di Jerman. Akhirnya bir non-alkohol yang saya pesan datang bersama bir beralkohol pesanan William. Nah lho, penampakannya sama persis alias tidak ada bedanya. Keduanya sama-sama disajikan di gelas dingin bervolume 0,5 liter, memiliki buih bir dengan ketinggian yang sama, warna kuning-keemasan yang sama, hingga aroma yang sama. Huntungnya, kami mendengarkan pramusaji yang menyebut nama pesanan saat menyajikannya ke kami, hingga akhirnya kami segera membuat patokan sendiri agar minuman kami tidak tertukar. Waktunya mencoba! Antara kehausan atau memang nikmat, saya langsung meneguk hingga setengah gelas, kebetulan juga saya amat kehausan karena baru mendaki Gereja St. Peter. Rasa haus dahaga ini seakan hilang setelah sensasi dingin, pahit, dan aroma gandum panggang melewati tenggorokan. Jujur, menurut saya, bir non-alkohol milik hofbräu adalah yang terbaik, bahkan yang menghabiskan bir tersebut adalah saya, bukannya Sorta. Sebelumnya saya sudah pernah mencoba bir non-alkohol, seperti Bintang Zero, Bintang Maxx 0,0%, Bintang Radler 0,0%, Suntory All-Free 0,0%, hingga Kirin Free 0,00%, dari semua bir tersebut, tidak ada yang saya suka, terutama bir non-alkohol milik Bintang karena rasanya tidak kuat dan tidak memiliki after-taste yang kuat. Walaupun demikian, bir non-alkohol masih meninggalkan polemik dilema bagi beberapa orang (saya juga kok, he-he), jika dicari di literatur, proses dari purifikasi bir sendiri ada yang masih menyisakan alkohol dalam persentase sedikit hingga tidak sama sekali. Untuk bir non-alkohol hofbräu saya tidak mengetahui apakah termasuk yang masih menyisakan atau bebas dari alkohol. Untuk itu, melalui tulisan ini, saya tidak bermaksud "menghasut" anda untuk mencoba bir non-alkohol, semua pertimbangan ada di masing-masing individu, he-he. Jika anda masih ngotot ingin merasakan atmosfer dengan gelas bir, namun anda ragu dengan kandungan alkohol dalam bir non-alkohol, jangan putus asa! Pilihan lain adalah memesan Apfelschorle, yaitu jus apel yang dicampur dengan air mineral berkarbonasi, penampakannya sama dengan bir, yaitu kuning-keemasan, bedanya tidak ada buih. Rasanya sama dengan jus apel asam yang dijual di Indonesia, ditambah dengan sensasi menggelitik kuat dari soda. Jadi, apakah saya merekomendasikan hofbräuhaus? Untuk merasakan atmosfer, reuni, dan mengenal orang baru, tentu akan amat saya rekomendasikan. Untuk makanan sendiri, saya jauh lebih suka dengan makanan di Wina, Austria. Namun, anda harus mencoba semmelknódel dan selai cranberi disini karena telah meninggalkan memori tersendiri bagi saya. Penyesalan juga datang bagi saya karena tidak sempat merasakan apfelstrudel (apple strudel) atau hausgemachte dampfnudel (homemade steamed dumpling) yang menjadi makanan penutup khas Bavaria. Hal ini dikarenakan porsi yang disajikan di Hofbräuhaus amatlah besar, saya sendiri sampai memberikan jatah saya ke duo Haryo. Walaupun aula ini begitu besar dan banyak pengunjung, hal yang patut diacungi jempol ialah bagaimana pelayanan berlangsung secara terstruktur dan sistematis. Tidak ada pesanan yang tertinggal dari seluruh pesanan kami, bahkan tagihan bon kami tidak ada yang salah. Hofbräuhaus am Platzl
Platzl 9, 80331 München, Germany Phone: +49 89 29013 6100 Website: http://www.hofbraeuhaus.de Menu (in english)
0 Comments
Leave a Reply. |